
Dalam dunia bisnis yang semakin kompetitif, membangun brand bukan hanya soal desain logo yang menarik atau kampanye iklan yang heboh. Lebih dari itu, brand harus mampu membentuk hubungan emosional dengan konsumennya. Buku “Obsessed: Building a Brand People Love from Day One” karya Emily Heyward—co-founder agensi branding Red Antler—membahas secara mendalam bagaimana perusahaan-perusahaan modern membangun brand yang membuat konsumen jatuh cinta, bahkan sejak hari pertama mereka diluncurkan.
Emily Heyward menekankan bahwa brand bukanlah sekadar identitas visual. Brand adalah perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sebuah perusahaan. Produk bisa saja ditiru, teknologi bisa berkembang, tetapi hubungan emosional yang kuat antara brand dan konsumen adalah sesuatu yang jauh lebih sulit untuk direplika.
Dalam era digital, konsumen memiliki lebih banyak pilihan dibanding sebelumnya. Hal ini menjadikan kepercayaan dan emosi sebagai aset utama dalam membangun brand. Konsumen membeli bukan hanya karena mereka butuh, tetapi karena mereka merasa terkoneksi secara personal dengan nilai dan misi brand tersebut.
Salah satu poin penting dalam buku ini adalah pentingnya memulai dari “Why”—mengapa brand ini ada? Apa tujuan yang ingin dicapai selain sekadar mencari keuntungan?
Brand-brand sukses seperti Warby Parker, Casper, dan Allbirds dibangun dengan misi yang kuat sejak awal. Mereka tidak hanya menjual produk, tetapi menawarkan solusi terhadap masalah sosial, lingkungan, atau bahkan kesehatan mental. Konsumen modern, terutama generasi milenial dan Gen Z, sangat tertarik dengan brand yang memiliki purpose jelas.
Emily menyarankan agar brand mulai dari narasi: apa cerita di balik brand ini? Siapa pendirinya, apa masalah yang mereka coba pecahkan, dan bagaimana nilai-nilai mereka tercermin dalam produk dan pelayanan?
Di era media sosial, konsumen bisa dengan mudah mencium kepalsuan. Maka, kejujuran dan transparansi menjadi senjata utama. Brand harus tampil autentik—tidak mencoba menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
Contoh menarik adalah bagaimana Glossier, sebuah brand kecantikan, membangun komunitas yang loyal dengan memanfaatkan feedback langsung dari pelanggan, bukan sekadar mengikuti tren pasar. Emily menunjukkan bahwa brand yang tumbuh dari suara komunitas akan jauh lebih kuat dibanding brand yang hanya fokus pada keuntungan jangka pendek.
Salah satu kesalahan umum dalam membangun brand adalah mencoba menyenangkan semua orang. Emily menggarisbawahi pentingnya menentukan target audiens utama sejak awal dan berfokus penuh pada mereka. Ini bukan berarti mengabaikan yang lain, tetapi dengan memiliki fokus yang tajam, brand bisa membangun hubungan yang lebih dalam dan bermakna.
Misalnya, brand sepatu Allbirds memfokuskan diri pada konsumen yang sadar lingkungan. Dengan bahan ramah lingkungan dan misi keberlanjutan yang jelas, mereka menciptakan diferensiasi yang kuat dan loyalitas pelanggan yang tinggi.
Salah satu pelajaran penting dari “Obsessed” adalah bahwa brand bukanlah hanya apa yang dikatakan perusahaan, melainkan apa yang dirasakan konsumen di setiap titik interaksi. Mulai dari tampilan website, cara customer service merespons pertanyaan, hingga cara pengemasan produk—semua membentuk citra brand secara utuh.
Emily menyebut pengalaman menyeluruh ini sebagai brand experience. Untuk membangun brand yang dicintai, setiap aspek harus konsisten dan mencerminkan nilai-nilai inti brand.
Banyak startup terjebak pada pertumbuhan cepat tetapi kehilangan jati diri. Emily memperingatkan agar pertumbuhan tidak mengorbankan nilai dan prinsip brand. Brand yang berhasil dalam jangka panjang adalah yang mampu bertumbuh tanpa kehilangan esensi dirinya.
Contohnya, meski telah berkembang pesat, Warby Parker tetap konsisten dengan misinya untuk memberikan akses kacamata yang terjangkau sambil menyumbang kepada masyarakat kurang mampu. Konsistensi inilah yang membuat brand mereka tetap relevan dan dicintai.
Buku ini juga menyoroti pentingnya membangun komunitas yang aktif dan loyal. Brand bukan lagi pihak yang hanya “berbicara” ke konsumen, melainkan harus mampu mendengarkan dan merespons secara aktif. Konsumen ingin merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar—dan brand yang bisa memberikan rasa memiliki ini akan menjadi brand yang terus dibicarakan.
Salah satu strategi yang disarankan adalah menggunakan media sosial dan platform komunitas untuk melibatkan pelanggan dalam pengembangan produk atau kampanye. Ini bukan hanya meningkatkan loyalitas, tetapi juga memberikan insight berharga secara gratis.
Brand yang dicintai bukanlah yang paling sering muncul di iklan, tetapi yang memiliki cerita otentik dan mudah diingat. Emily mendorong brand untuk fokus pada storytelling yang jujur, menarik, dan relevan dengan kehidupan audiens.
Misalnya, alih-alih hanya mengatakan bahwa produk mereka “berkualitas tinggi,” brand bisa menceritakan proses pembuatannya, siapa orang-orang di baliknya, dan bagaimana produk tersebut bisa mengubah hidup seseorang.
“Obsessed” adalah buku yang cocok bagi siapa pun yang ingin membangun brand dari nol, dengan fondasi yang kuat dan relevan dengan konsumen modern. Emily Heyward menawarkan pendekatan yang lebih emosional, strategis, dan manusiawi dalam branding—sesuatu yang sering diabaikan dalam buku-buku bisnis lainnya.
Pesan utamanya jelas: untuk membangun brand yang dicintai sejak hari pertama, mulailah dari hati. Pahami siapa konsumen idealmu, mengapa kamu hadir, dan bagaimana kamu bisa membuat hidup mereka lebih baik. Dengan begitu, brand kamu tidak hanya akan dibeli—tetapi juga akan dikenang dan dicintai.
WhatsApp us